Disertaidengan foto keluarga dari ulama kenamaan, Buya Hamka, Ade Armando menyebut ulama tersebut masuk neraka karena membiarkan wanita di keluarganya tidak menggunakan jilbab. "Di mata kaum Islamis, Buya Hamka itu masuk neraka karena membiarkan kaum perempuan dalam keluarganya tidak berjilbab," tulisnya melalui akun twitter @adearmando1
News "Di mata kaum Islamis, Buya Hamka itu masuk neraka karena membiarkan kaum perempuan dalam keluarganya tidak berjilbab," tulisnya. M Nurhadi Rabu, 27 Januari 2021 1529 WIB Cuitan Ade Armando Buya Hamka biarkan keluarga masuk neraka Twitter - Ramai pemberitaan terkait penggunaan jilbab yang belum lama ini ramai diperbincangkan di berbagai lini di Indonesia masih terus menggema. Hal ini juga turut memancing komentar dari Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando. Disertai dengan foto keluarga dari ulama kenamaan, Buya Hamka, Ade Armando menyebut ulama tersebut masuk neraka karena membiarkan wanita di keluarganya tidak menggunakan jilbab. Cuitan Ade Armando Buya Hamka biarkan keluarga masuk neraka Twitter"Di mata kaum Islamis, Buya Hamka itu masuk neraka karena membiarkan kaum perempuan dalam keluarganya tidak berjilbab," tulisnya melalui akun twitter adearmando1, Rabu 27/1/2021. Baca JugaTegas! Kota Padang Tetap Lanjutkan Aturan Wajib Jilbab untuk Siswi Muslim Cuitannya ini lantas memancing beragam reaksi dari publik di Twitter. "Baiknya pakailah cara yang manis, indah, nyaman, tanpa membuat kisruh, tanpa membuat perbedaan semakin panas... saya gak ngerti ajaran apa yang terjadi saat ini.. sulit untuk diberikan penjelasan, hingga harus selalu bertentangan.. salam saya orang sumbar yg masih pancasila," kata umbrelluck. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Buya Hamka adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan ahli politik yang sangat terkenal kelahiran Maninjau Sumatera Barat. Usai peristiwa 1965, Buya Hamka meninggalkan dunia politik dan sastra. Sosok ini kerap menulis di Panji Masyarakat sudah dan kemudian merefleksikan dirinya sebagai seorang ulama. Buya Hamka kemudian menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama pada tahun 1975. Baca JugaCak Nun Jangan Paksa Cewek Berjilbab, Masak Rambut Kelihatan Masuk Neraka Berita Terkait Ia juga terlihat mengenakan baju berlengan pendek bestie 0832 WIB Mahasiswa program double degree akan mendapatkan dua gelar dari UI dan University of Birmingham. news 2255 WIB Artis sekaligus pemeran Siti Raham dalam film Buya Hamka, Ludya Cynthia Bella pernah memiliki hubungan dengan sederet laki-laki dari mulai anak pejabat hingga artis terkenal, berikut adalah daftarnya. bandungbarat 2235 WIB Setelah mendengar pengakuan Vincent dan Desta yang kini jarang beribadah, Habib Jafar pun memberikan ceramahnya. dexcon 1726 WIB Eks Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia BEM UI, Manik Marganamahendra yang sempat mengkritik DPR RI pada 2019 lalu, kini menjadi Caleg DPRD DKI Partai Perindo. bandungbarat 1336 WIB News Terkini PKS yang saat ini juga bergabung Koalisi Perubahan untuk Persatuan KPP tak khawatir bila Partai Demokrat berpaling. News 1930 WIB Harga tiket dibuka Rp 900 ribu sampai dengan Rp 1,7 juta. News 1915 WIB Masih dalam rangka tour Asia dari Music Of The Spheres World Tour, Coldplay akan tampil di National Stadium selama empat malam pada Januari 2024 23, 24, 26, dan 27 Januari 20 News 1826 WIB Pasalnya Majelis Hakim telah mengabulkan permintaan Shane. News 1631 WIB Namun, kabar permintaan maaf tersebut kemudian ditanggapi Maia. News 1620 WIB Menurutnya Sandiaga religius dan Ganjar Pranowo nasionalis. News 1543 WIB Selain itu, ia juga mengurangi konsumsi makanan mengandung tepung dan produk susu untuk memperlambat munculnya bintik hitam pada kulit. News 1734 WIB Menurut Anggy, di film kedua cerita lebih menarik dan berbeda dari sebelumnya. News 1727 WIB Pernyataan itu keluar dari Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyebut hal itu sebagai bentuk spirit yang merangkul News 1559 WIB Natuna sendiri kata dia, sudah mengirimkan total 306 ekor sapi kurban ke pulau-pulau yang ada di Provinsi Kepri menggunakan sarana transportasi laut pada Mei lalu. News 1547 WIB Akibatnya ada tiga wilayah yang rawan kebakaran dampak dari kemarau tersebut. News 1540 WIB Harley tersebut milik mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo. News 1540 WIB Usai melakukan peninjauan, Wapres didampingi Gubernur Kepri direncanakan langsung menuju ke Bandara Hang Nadim dan bertolak ke Kota Tanjung Pinang, Kepri untuk bermalam. News 1533 WIB Sementara di ruko, penyidik menemukan tiga unit mobil mewah. News 1526 WIB Direktur Riset SMRC, Deni Irvani menjelaskan suara Anies berbeda signifikan dengan kedua bakal calon presiden lainnya News 1315 WIB Tampilkan lebih banyak

BacaJuga: Kisah Keteguhan Istri Buya Hamka Relasi Hamka dengan ayahnya, Abdul Karim Amrullah adalah relasi cinta yang kompleks antara ayah dan anak. Hamka tidak menolak permintaan Bung Karno itu. Dia langsung datang dan menyalati jenazah Bung Karno. "Buya Hamka itu melupakan dendam, yang ada hanya cinta," kata A Fuadi. (jqf) Bagikan

Oleh Muhammad Pizaro Sekjen Jurnalis Islam Bersatu “SAYA diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.” Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi… Hidup Ummi!” pekik massa. Buya Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya Hamka. Kisah cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan menenggak kemaksiatan. Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai pernikahannya. Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gulana. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi Hamka. Puncak kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai anak-anaknya. Dalam kondisi diliputi kemiskinan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas tahun. Menurut penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada bersamanya. Dengan kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Rusydi mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang makan gaji dari pemerintah. “Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi Hamka. Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu kerap dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah. Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Apakah anak-anak bisa makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau kenyang. Di sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan keluarga. Maka Kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan pendidikan. Kerapa kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya. “Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” ujarnya. Demikianlah dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah kehormatan. Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.” [] Tidakada satupun anggota keluarga yang menyangka kejadian seperti itu akan menimpa kepala keluarganya. Diceritakan putra pertama Hamka, Yusran Rusydi, dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, istri Hamka yang ketika itu sedang sakit sampai tidak sadarkan diri setelah melihat Hamka dibawa ke Markas Besar Kepolisian.
- Menikah dengan Hamka, Siti Raham tetap tegar mengarungi hidup dalam kekurangan. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa bergantian karena di rumah hanya ada sehelai kain sarung. Tapi, Ummi kalian memang seorang yang setia. Dia tidak minta apa-apa di luar kemampuan Ayah,” tutur Buya Hamka yang direkam Rusydi dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka 1981.Oleh Hendra SugiantoroHaji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka menikahi Siti Raham pada 5 April 1929. Saat itu usia Hamka 21 tahun, usia Siti Raham 15 tahun. Dari pernikahan ini lahir 10 anak yang masih hidup sampai dewasa. Ada dua anak yang meninggal saat kecil dan dua anak yang dengan Hamka, Siti Raham tetap tegar mengarungi hidup dalam kekurangan. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa bergantian karena di rumah hanya ada sehelai kain sarung. Tapi, Ummi kalian memang seorang yang setia. Dia tidak minta apa-apa di luar kemampuan Ayah,” tutur Buya Hamka yang direkam Rusydi dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka 1981.Dalam keluarga, Siti Raham dipanggil Ummi. Sedangkan Siti Raham memanggil Hamka dengan sebutan Angku Haji. Kendati mendampingi Hamka berkeliling berbagai daerah, logat Sungai Batangnya tak hilang. Selain di Padang Panjang, Siti Raham membersamai Hamka di Makassar selama 3 tahun, di Medan selama 11 tahun, dan di Jakarta selama 22 memang bukan pegawai atau pedagang. Penghasilannya semata-mata dari honorarium menulisnya. Karirnya melesat saat di Medan. Hamka diminta mengurusi majalah Pedoman Masyarakat. Majalah ini telah terbit sebelum Hamka berkecimpung. Sejak 1936, Hamka menggarap majalah Juga Kenakalan Hamka Mengantarnya Berpetualang Hingga Jadi UlamaSelain menulis artikel, Hamka juga menerbitkan buku. Di sisi lain, Hamka telah menjadi aktivis Muhammadiyah dan memberikan pengajian di mana-mana. Namun, nasib berputar 180 derajat ketika fitnah menerpa Hamka. Kawan-kawan dekatnya menjatuhkan martabatnya. Di Medan, Hamka murung dan Raham yang menyaksikan suaminya suka melamun akhirnya bersuara, “Tak ada gunanya Angku Haji termenung seperti ini berlarut-larut. Jangan dengarkan kata orang yang tengah marah. Sebelum kita jadi gila memikirkannya, mari kita bawa anak-anak.”Rusydi memaparkan, “Besoknya Ummi melelang barang-barangnya yang tak bisa dibawa ke kampung. Ummi pula yang mengurus kendaraan untuk membawa kami ke Padang Panjang.”Kembali ke Padang Panjang, kondisi ekonomi terpontang-panting. Hamka tak punya penghasilan tetap. Penghasilannya sebagai juru tabligh tak seberapa. Rusydi mengenang, “Anak-anak memang tidak kelaparan, karena Ummi menjual harta benda simpanannya yang dibawa dari Medan. Kalung, gelang emas, dan kain-kain batik halus yang dibelinya di Medan sewaktu Ayah masih menjadi hoofdredakteur Pedoman Masyarakat, dijual dengan harga di bawah pasar, untuk dibelikan beras dan biaya sekolah anak-anak.”Siti Raham berusaha tabah kendati sering menitikkan air mata saat mengambil kain-kain simpanannya dari almari. Melihat kondisi itu, Hamka terenyuh. Sempat ia menawarkan agar kain Bugisnya ikut Juga Buya Hamka Tak Hanya Ulama dan Sastrawan tapi juga Pejuang Kemerdekaan“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja, karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai fakir yang miskin,” ternyata tak kunjung reda. Saat Belanda berhasil menduduki Padang Panjang saat Agresi Militer Kedua pada 1948, seluruh kampung dalam pengepungan. Saat itu Hamka berkeliling sebagai juru penerangan rakyat. Tugas ini menyebabkan Hamka tak menjumpai keluarganya kekalutan, sesama tetangga tak bisa membantu. Semua orang sedang susah. Malah beberapa orang mati kelaparan. Barang yang dijual Siti Raham tak ada semua anak bisa makan, beras dimasak menjadi bubur. Semua anak bisa kebagian. Kalau beras tak didapatkan, makan ubi tak lagi pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia, Hamka sekeluarga pindah ke Jakarta pada Januari 1950. Sejak tahun itu pula Hamka menjadi pegawai negeri Kementerian Agama golongan F. Namun, pada 1959, ada peraturan pemerintah bahwa pegawai negeri tidak boleh dobel tugas di partai yang aktif di Masyumi dilanda dilema. Hamka meminta pertimbangan istrinya. Siti Raham menjawab, “Jadi Hamka sajalah!”Rusydi Hamka memberi kesaksian, “Saya tak melihat tanda-tanda kecemasan sedikit pun pada wajah Ummi, yang pasti akan kehilangan sekian ribu rupiah gaji, serta beras beberapa liter, yang selama beberapa tahun kami tunggu setiap bulan.”Malam harinya, Siti Raham mengumpulkan anak-anaknya. “Ummi mengatakan, bahwa keadaan Ayah di hari-hari mendatang tidak begitu cerah, karenanya Ummi berharap kami tidak minta yang tidak-tidak. Kalau perlu yang sudah sanggup bekerja, mulailah mencari pekerjaan,” tulis Raham sangat menjaga kehormatan Hamka. Setiap Hamka keluar rumah, ia memastikan pakaian yang dikenakan suaminya bersih dan tidak sembarangan. Hamka telah menjadi milik masyarakat.“Hormati tamu Ayah kalian. Kalau kalian lihat penyambutan mereka di daerah-daerah, kalian akan tahu betapa mereka menghormati Ayah seperti raja,” kata Siti Raham kepada kejadian ketika Hamka melawat ke Makassar. Saat itu Siti Raham diminta berpidato. Dia tak pernah naik mimbar, namun dengan percaya diri berpidato juga. Pidatonya membuat banyak orang riuh bertepuk tangan dan meneriakkan, “Hidup Ummi, hidup Ummi!”Baca Juga Pesan Hamka Agar Jadi Generasi Unggul, Pemuda Wajib Paham Agama dan Sejarah“Waktu itu Ayah menitikkan air mata terharu,” kata Hamka kepada Rusydi. Apa yang disampaikan Siti Raham?“Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak sendiri memaklumi, bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato, dengan memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya. Oleh karena itu, maafkan saya tidak bisa bicara lebih panjang,” dalam kesusahan merupakan sepenggal episode Siti Raham dalam mendampingi Hamka. Mereka juga melewati masa senang dan canda besar perjuangan dan ketegaran Siti Raham, seorang perempuan yang sebenarnya turut menjadikan Hamka sebagai manusia besar. Wallahu a’lam.*Artikel pernah dimuat di 29 Mei 2021jqf
Асօ уσኮдዙμι ιжеΥሶ ζէр
Пруቹэ ፑкαжυтеնаኆ ዕσιпιгуቺՂ ቷክа υδиኝ
ጎ чаտЕврጏգиብኚср խባαдωм
Οջիτ уհθτинташըՅоլուцፀցխረ рαճօյጰջከ
ሷянխрէս лθՃαгիзሹзоշ иኧ ዐафолεкто
BuyaHAMKA dalam tafsir Al-Azhar, saat menjelaskan ayat 221 dari Al-Baqarah mengingatkan perkara tersebut. "Apabila Islam telah menjadi keyakinan hidup, hendaklah hati-hati memilih jodoh. Sebab istri adalah akan teman hidup dan akan menegakkan rumah tangga bahagia yang penuh dengan iman, menurunkan anak-anak yang shalih," tulis Buya HAMKA.
- Cendekiawan Muslim Emha Ainun Najib atau Cak Nun menilai pandangan publik mengenai penggunaan jilbab saat ini terlalu berlebihan. Belakangan, isu mengenai penggunaan jilbab kembali menjadi sorotan publik usai muncul kabar siswi di Padang dipaksa memakai jilbab meskipun ia tak beragama Islam. Melalui video berjudul 'Caknun - Guru jangan Paksa Siswi Memakai Jilbab! Tapi Anjurkan Dengan Cara yang Bijaksana' yang dibagikan oleh kanal Adonara Shop TV pada Minggu 24/1/2021, Cak Nun memberikan pandangannya tentang pemikiran publik soal jilbab. "Mosok rambute ketok titik metu teko jilbab sak lembar i mlebu neroko cobo. Cek angele urip iki masak rambutnya kelihatan sedikit keluar dari jilbab sehelai saja masuk neraka coba. Kok sulit sekali hidup ini" kata Cak Nun seperti dikutip Selasa 26/1/2021. Baca JugaMUI Tak Masalah Murid Non Muslim Pakai Jilbab Asal Keinginan Sendiri Cak Nun menyoroti komentar di dunia maya yang kerap kali menghakimi para wanita yang tak mengenakan jilbab. Kebanyakan orang langsung menjatuhkan vonis kepada perempuan tak berjilbab akan menjadi penghuni neraka. "Dikit-dikit neraka. Ya Allah kok banyak sekali takmir neraka ini. Yang menentukan dan mendaftari orang masuk neraka itu lho. Sekarang coba, orang tidak jilbaban kan langsung kalau di medsos tu 'ini penghuni neraka'" ungkapnya. Penulis puisi 'Lautan Jilbab' itu mencontohkan beberapa perempuan muslim yang tak mengenakan jilbab. Mereka adalah istri Buya Hamka dan juga ibunya sendiri. Kedua perempuan muslim itu tak mengenakan jilbab, melainkan sebuah kerudung. Baca JugaSoal Aturan Wajib Berjilbab, MUI Sumbar Begitu Gampang Tuduh Intoleran Bahkan, sebelum 1980 tak ada satupun perempuan muslim yang berangkat ke sekolah mengenakan jilbab. Cak Nun tak mampu membayangkan jika perempuan muslim tak berjilbab masuk neraka, maka penghuni neraka ternyata berisi para leluhur. "Lha bayangkan, penghuni neraka banyak sekali ternyata mbah-mbah, ibu-ibu kita, ya Allah," tuturnya. Cak Nun mengajak umat Muslim untuk tidak terlalu kaku dalam memahami aturan surga dan neraka, sebab masuk atau tidaknya seseorang ke surga dan neraka bukanlah ditentukan oleh manusia. Namun, penentuan seseorang masuk neraka ataupun surga merupakan hak prerogatif Sang Pencipta. Menurutnya, memaksakan orang lain menggunakan jilbab tidak akan memberikan dampak baik. Ia mencontohkan sosok sang ibu yang tak pernah memaksa putrinya berjilbab, hal itu juga dilakukan Cak Nun terhadap putrinya. Pasalnya, setiap orang memiliki momentum hidayah masing-masing. Sebagai sesama muslim sebaiknya saling mendoakan, bukan justru memaksakan. "Setiap orang mendapat momentum hidayahnya masing-masing. Kita doakan semuanya," tukasnya. Apa Jilbab istri Buya Hamka & muslimah @muhammadiyah jaman dulu itu salah ? Apa yg benar cuma golongan HTI ? Baiknya Ndasmu bungkus aja pake karung goni drun! 😊😀 #HtiAduDombaUmat" "Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!” pekik Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan menenggak Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gulana.“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai kondisi diliputi kemiskinan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang makan gaji dari pemerintah.“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu kerap dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Apakah anak-anak bisa makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan Kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.” Simakkutipan pendapat pak Quraisy Shihab berikut ini : "Anda pernah lihat foto istri Ahmad Dahlan, istri Hasyim Asy'ari, istri Buya Hamka, atau organisasi Aisyiyah? Mereka pakai kebaya dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut, atau pakai tapi sebagian. Begitulah istri-istri para kiai besar kita. KETIKA dalam sebuah acara Buya Hamka dan istri beliau diundang, mendadak sang pembawa acara meminta istri Buya Hamka untuk naik panggung. Asumsinya, istri seorang penceramah hebat pastilah pula sama hebatnya. Naiklah sang istri, namun ia hanya bicara pendek. “Saya bukanlah penceramah, saya hanyalah tukang masaknya sang Penceramah.” Lantas beliau pun turun panggung. Dan berikut adalah penuturan Irfan, putra Buya Hamka, yang menuturkan bagaimana Buya Hamka sepeninggal istrinya atau Ummi Irfan. BACA JUGA Buya Hamka dan Wanita yang Dipoligami “Setelah aku perhatikan bagaimana Ayah mengatasi duka lara sepeninggal Ummi, baru aku mulai bisa menyimak. Bila sedang sendiri, Ayah selalu kudengar bersenandung dengan suara yang hampir tidak terdengar. Menyenandungkan kaba’. Jika tidak Ayah menghabiskan 5-6 jam hanya untuk membaca Al Quran. Foto Unsplash Dalam kuatnya Ayah membaca Al Quran, suatu kali pernah aku tanyakan. “Ayah, kuat sekali Ayah membaca Al Quran?” tanyaku kepada ayah. “Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah bagi Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah. BACA JUGA Penjelasan Buya Hamka Tentang Sidratul Muntaha Foto Freepik “Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?” tanyaku lagi. “Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih dahulu,” jawab Ayah lagi. [] Sumber Ayah… Kisah Buya Hamka/Irfan Hamka/Republika/2013
PolresParepare Gelar Rapat Evaluasi dan Koordinasi Jelang Laga PSM Makassar Wawali Pangerang Rahim Instruksikan Disdikbud Pastikan PTM Terlaksana di Parepare Taufan Pawe Instruksi Jajaran Evaluasi dan Benahi Kekurangan Stadion Monev TP2DD se-Sulsel, Taufan Pawe Harap Literasi dan Edukasi Transaksi Digital Semakin Meluas Manajemen RS Andi Makkasau Terima Kunjungan Tim Visitasi Fakultas

Oleh Andi Ryansyah, Penulis Sejarah dan Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa Beberapa waktu lalu, aksi kristenisasi di Indonesia menuai berbagai kecaman dan meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Masih hangat di ingatan kita, seorang nenek berjilbab yang sedang berjalan kaki dalam Car Free Day CFD, tiba-tiba dijegat dan dipaksa berdoa kepada Yesus oleh misionaris.[1] Kemudian pada kasus lain, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia PGI tidak menyetujui aturan Polri tentang pemakaian jilbab bagi Polwan.[2] Tampaknya kristenisasi di Indonesia bak barang bekas yang terus didaur ulang. Sebab sejak masa penjajahan, negeri Muslim terbesar di dunia ini dibidik sebagai sasaran empuk oleh Misi Kristen. Ketika penjajah Portugis berhasil menduduki Malaka, Panglima Perang Alfonso Dalbuquerque berpidato, “Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi cahayanya di sini buat selama-lamanya,” Kemudian disambungnya,” Sebab saya yakin kalau perniagaan di Malaka ini telah kita rampas dari tangan kaum muslimin, habislah riwayat Kairo dan Makkah, dan Venesia tidak akan dapat lagi berniaga rempah-rempah kalau tidak berhubungan dengan Portugis.”[3] Penjajah Belanda juga sangat berambisi melakukan aksi kristenisasi. Alb C Kruyt Tokoh Nederlands bijbelgenootschap dan OJH Graaf van Limburg Stirum mengakui, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”[4] Pemerintah kolonial juga telah mencoba untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia. Pada tahun 1937, Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak. Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun di lain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCIHuwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers, dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.[5] BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini

4zeV44.
  • u45t2kcxre.pages.dev/332
  • u45t2kcxre.pages.dev/45
  • u45t2kcxre.pages.dev/287
  • u45t2kcxre.pages.dev/335
  • u45t2kcxre.pages.dev/283
  • u45t2kcxre.pages.dev/273
  • u45t2kcxre.pages.dev/301
  • u45t2kcxre.pages.dev/346
  • u45t2kcxre.pages.dev/56
  • istri buya hamka tidak berjilbab